Diduga Telah Dikondisikan,
Proses Kualifikasi Lelang Pasar Tagog Padalarang
Bandung Barat, Zona Publik – Pengadaan barang dan jasa merupakan sektor terbesar yang menjadi “lahan basah” tindak pidana korupsi. Hampir 80 persen kasus yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berasal dari sektor tersebut.
Menurut Pengamat Kebijakan Publik, Gemantara Raya, Bony Iskandar, SH, banyak celah korupsi yang dilakukan oleh oknum Panitia Lelang dalam pengadaan barang dan jasa. “Biasanya diawali dari perencanaan dan penganggaran. Jadi penganggaran sudah dikapling-kapling, sekian jatah buat pihak tertentu. Dan dalam perencanaan dokumen teknis, diatur kuncian khusus untuk memenangkan salah satu peserta lelang,” ujar Bony.
Setidaknya, ada delapan dokumen yang bisa menjadi acuan investigasi apakah ada tindak pidana dalam suatu proyek.
Pertama, yakni dokumen kerangka acuan kerja (KAK). Dokumen tersebut memuat latar belakang, nama pengadaan barang atau jasa, sumber dana dan perkiraan biaya, rentang waktu pelaksanaan, hingga spesifikasi teknis. “Spesifikasi teknis bisa dimainkan dengan menaikkan spesifikasi sehingga anggaran menjadi besar,” tambahnya.
Kedua, menurut Bony, dokumen riwayat harga perkiraan sementara juga bisa jadi dasar mengulik wajar atau tidaknya suatu pengadaan. Dokumen tersebut bisa mengungkap sumber informasi yang digunakan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dalam menyusun HPS.
Setelah itu, ada Standard Bidding Document (SBD) yang dikeluarkan LKPP, surat penawaran peserta lelang, dokumen kerja kelompok kerja unit layanan pengadaan, hingga berita acara penetapan pemenang tender.
Seringkali terjadi, menurut Bony, harga kontrak jauh melebihi harga pasar. Dalam situsnya, dirinci secara jelas mengenai proyek tertentu, termasuk harga perkiraan sendiri, dana pagu, dan perusahaan pemenang lelang. Ditambah lagi dengan skor potensi kecurangan, mulai dari 1 hingga 20. Semakin tinggi angkanya, semakin besar adanya dugaan potensi kecurangan.
Dugaan Pengkondisian Pasar Tagog
Dalam Dokumen Lelang Pasar Tagog Padalarang, digunakan konsep Mitra Bangun Guna Serah (BGS). “Ada beberapa perbedaan antara yang tertulis dalam dokumen dan realisasi dilapangan. Luas tanah dalam dokumen hanya 6.431 M2,” jelas sumber ZP di Pasar. “Dan tertulis sebanyak 1.450 unit usaha. Padahal, data kami sebelumnya hanya 1.250 pedagang,” tambahnya.
Melihat data, menurut Bony, ada beberapa kuncian yang mengandung unsur Tipikor. Misalnya dalam ketentuan dan syarat yang mewajibkan perusahaan memiliki pengalaman revitalisasi pasar sekurang-kurangnya 6 pasar tradisional di Jawa Barat, dibuktikan dengan kontrak kerja dan keterangan dari pemilik pekerjaan. “Hal tersebut adalah kuncian awal dalam persyaratan kualifikasi perusahaan. Apalagi dalam ketentuan lainnya, Peserta yang sudah lulus penilaian kualifikasi tidak perlu dilakukan penilaian kembali, kecuali ada PERUBAHAN DOKUMEN KUALIFIKASI,” tutur Bony.
Bony menilai, penekanan dalam pengalaman dan kalimat “kecuali ada perubahan dokumen kualifikasi”, dapat memberikan peluang kepada Tindak Pidana Korupsi.
Seharusnya, menurut Bony, DPRD dan Pedagang harus lebih kritis agar revitalisasi Pasar Tagog Padalarang, berjalan sesuai harapan masyarakat Bandung Barat dan bukan sebagai alat kepentingan. (Red)