PENYALAHGUNAAN Narkotika menyebabkan 40 – 50 orang mati setiap hari dan secara nyata membuat problem sosial yang besar di tengah kompleksitas kehidupan bermasyarakat. Organisasi kemasyarakatan, merupakan salah satu komponen yang terlibat aktif memerangi bahaya Narkoba, dengan terus bahu membahu mewujudnyatakan daya tangkal, tolak dan cegah terhadap segala bentuk kejahatan Narkoba.
Mengakhiri tahun 2019, Presidium Nasional Forum Organisasi Kemasyarakatan Anti Narkoba (Presnas FOKAN) menggelar kegiatan “Refleksi Akhir Tahun dan Tantangan Penanganan bahaya Narkoba Tahun 2020″ bersama Deputi Pemberantasan BNN Irjen Pol. Drs. Arman Depari, Jumat (13/12/19) di Gedung Aula BNN (Badan Narkotika Nasional) Lantai 2, Jl. MT. Haryono, No. 11, Cawang, Jakarta Timur.
Kegiatan yang mengundang para pimpinan organisasi anti Narkoba, tokoh peduli P4GN dan para stakeholders lainnya ini diharapkan akan membawa pola penanganan berbasis pemberdayaan yang efektif dan multi manfaat dengan target berkurangnya angka demand reduction, makin meluasnya informasi bahaya Narkoba serta terlibatnya segenap komunitas untuk memerangi kejahatan Narkoba
Tahun 2020 diharapkan semakin menurun angka prevalensi penyalahguna Narkotika, tentu dengan meningkatnya kualitas rehabilitasi serta semakin sadarnya masyarakat melaporkan korban penyalahguna Narkotika kepada Institusi Penerima Wajib Lapor (IPWL).
Sinergitas FOKAN dengan BNN tentu menjadi prioritas dimana diharapkan seluruh anggota organisasi di bawah wadah FOKAN semakin cepat mengimplementasikam program P4GN (Pencegahan Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba) yang berkualitas. Kegiatan ini juga menjadi tradisi dan sarana pengikat solidaritas seluruh anggota organisasi di bawah wadah FOKAN.
Selain Deputi Pemberantasan BNN Irjen Pol. Drs. Arman Depari, acara juga dihadiri di antaranya mantan Kepala BNN RI Komjen Pol. Purn. Dr. Anang Iskandar, SH, MH selaku narasumber, Ketua Umum FOKAN dan GMDM Jefri T. Tambayong, SH, Sekjen FOKAN Ruliadi, Staf ahli Badan Narkotika Nasional (BNN), Brigjen Pol. DR. Victor Pudjiadi SpB, FICS, DFM dan Brigjen Pol. Siswandi selaku Ketua GPAN, Ketua Umum Lembaga Adat Tatar Sunda Diansyah Putra Gumay dan salah seorang Pendiri FOKAN Sismanu.
Hadir juga para Ketua, Sekjen dan pengurus organisasi yang tergabung dalam FOKAN di antaranya dari GMDM, Lembaga Tatar Sunda, INSANO, IKRW, KNPI, Yayasan Raden, Tenar, GPAN, Tekab, Garda, Yayasan Bintang Jasa, Law Firm Jayakarta, KB FKPPI, GANNAS, Gebrakan Anti Narkoba Nasional (GANN), KAIPAN, Bankobater, Gentara, DAN dan BFAD.
Acara dibuka dengan pembacaan doa dan menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya dilanjutkan dengan Pernyataan Sikap Bersama yang dibacakan Ketua Umum FOKAN Jefri T. Tambayong, SH didampingi para ketua organisasi lainnya. Tercatat, ada 6 poin yang merupakan wujud sikap FOKAN menghadapi tantangan permasalahan Narkotika. Salah satunya menolak tegas wacana pembubaran BNN.
“Kami seluruh organisasi kemasyarakatan Anti Narkoba beserta rakyat Indonesia, meminta Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang perubahan atas Undang-Undang No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika,” kata Jefri Tambayong.
Kedua, kata Jefri, seluruh organisasi kemasyarakatan Anti Narkoba beserta rakyat Indonesia meminta segera dilaksanakan eksekusi mati bagi terpidana kasus Narkotika yang memiliki kekuatan hukum tetap atau yang sudah Inkracht. “Ketiga, kami seluruh organisasi kemasyarakatan Anti Narkoba beserta rakyat Indonesia menolak keras vonis ringan bagi sindikat jaringan peredaran gelap Narkotika,” kata Jefri yang juga Ketua Umum GMDM.
Keempat, kata Jefri Tambayong, seluruh organisasi kemasyarakatan Anti Narkoba beserta rakyat Indonesia mendorong diberikannya amnesti kepada korban penyalahguna Narkotika. “Kelima, kami seluruh organisasi kemasyarakatan Anti Narkoba, mendorong Kepala Daerah agar mengeluarkan Peraturan Daerah tentang Anti Narkoba, demi melindungi dan mencegah anak bangsa dari kejahatan narkotika,” jelasnya.
Kemudian terakhir, lanjut Jefri, organisasi kemasyarakatan Anti Narkoba bersama rakyat Indonesia menolak keras upaya pembubaran BNN. “Tetapi kami meminta dilakukannya evaluasi untuk memperkuat eksistensi kelembagaan BNN,” tegas Jefri Tambayong.
Sementara dalam laporannya, Sekjen FOKAN Ruliadi menyampaikan bahwa panitia telah memulai kegiatan ini running sejak Selasa lalu, Selaku panitia ia juga mengucapkan terimakasih kepada Irjen Pol. Drs. Arman Depari, Deputi Pemberantasan BNN yang telah bersedia hadir dan dapat mewujudkan kegiatan tersebut.
“Saya juga mengucapkan terimakasih kepada Dr. H. Anang Iskandar dan seluruh ketua umum pengurus organisasi Anti Narkoba di bawah naungan FOKAN yang telah meluangkan waktunya untuk hadir. Harapan dan keinginan saya agar kita semua terus sehat untuk dapat berjuang menjadi pelopor penggerak di bidang P4GN,” kata Sekjen FOKAN.
Kekhawatiran Masyarakat Dunia
Di tempat yang sama, Deputi Pemberantasan BNN Irjen Pol. Drs. Arman Depari menegaskan, pemberantasan baru merupakan bagian kecil yang ia tangani sebagai deputi . “Saya tidak senang dan gembira kalau jauh hari saya harus nangkap dan menyita barang bukti yang besar. Yang saya senang, tidak ada lagi yang perlu ditangkap dan barang bukti yang numpuk di Indonesia ini,” jelasnya.
Pemberantasan, lanjut Arman, intinya mencari, menemukan, menangkap, menyidik dan memenjarakan, dan itu bukan pekerjaan BNN. “Perlu digaris bawahi, BNN memang adalah penegak hukum law enforcement dalam hal kejahatan Narkotika. Tapi bedakan penanggulangan dan pemberantasan,” ungkapnya.
Arman juga mengungkapkan, secara resmi di tingkat global mulai ada kekhawatiran dari seluruh masyarakat dunia tentang penyalahgunaan Narkoba. Walaupun pada tahun 1933 sudah ada pertemuan yang disebut Amsterdam Convention, tapi itu belum diakui seluruh dunia, sehingga kemudian dikeluarkan Single Convention on Narcotic Drugs tahun 1991 yang menyatakan bahwa narkotika adalah kejahatan.
“Satu point yang perlu dipahami, bahwa keseimbangan antara penghukuman dan hak azasi manusia, maka kemudian para pengguna itu tidak lagi dianggap suatu kejahatan, namun dia harus diperlakukan menjadi orang yang sakit. Ini sedikit ada perbedaan,” jelas Arman Depari.
Meski demikian, Arman melihat, ada kecurigaan dari negara-negara berkembang bahwa ini merupakan persaingan antara negara maju untuk memproduksi obat, dan Indonesia salah satu yang sedikit keberatan. “Narkotika tidak akan habis, tetapi penggunaannya dalam jumlah terbatas. Karena narkotika itu sifatnya tidak akan pernah habis sehingga harus dikontrol,” katanya.
Lebih jauh dikatakan Arman, tantangan ke depan adalah dari negara yang paling banyak memproduksi. Contoh Cina yang tidak lagi main dan memproduksi di dalam negerinya, tetapi pergi ke daerah-daerah lain dan para sindikat itu akan berkumpul ke Cina.
“Salah satunya London Triangle. Nah, mereka kumpul di sana. Berton-ton mereka produksi, siapa yang mau, kirim. Karena yang mereka pikirkan hanya uang. Masa bodo masyarakatnya mau jadi pecandu semua, ditembak dihukum mati atau masuk ke laut, ga ada peduli mereka. Intinya ya uang semua,” ungkap Arman Depari
Sementara dalam arahannya Komjen Pol. Purn Dr. Anang Iskandar menekankan tentang pentingnya rehabilitasi dan memberikan semangat, terutama kepada FOKAN untuk ikut memperjuangkan kepentingan masyarakat dalam rangka menekan demand dan suplay. “Memang dunia ini memerintahkan kita agar penyalahguna (sebelah kiri-red.) dan bandar-pengedarnya, suplay harus ditekan bareng,” kata Anang Iskandar.
Anang menegaskan dalam undang-undang juga memerintahkan penyalahguna tidak dihukum penjara, namun bagi para pengedar atau bandar dihukum. Karena tujuan Undang-Undang Narkotika bagi pengedar untuk diberantas dan penyalahguna dijamin mendapatkan rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. “Ini sebabnya kenapa rehabilitasi itu penting untuk menanggulangi penyalahgunaan. Penjara juga penting, hukuman berat sampai tindak pidana pencucian uang. Itu tujuannya untuk memberantas peredarannya,” jelasnya.
Makanya, lanjut Anang, rehabilitasi menjadi sangat penting. Namun masalahnya, setelah 10 tahun Undang-Undang Narkotika, baru bulan ini hakim memutuskan hukuman rehabilitasi, dalam perkara Nunung dan Jefri Nichol yang keduanya sama-sama penyalahguna. “Ini baru mulai kita on the track, kalau dihukum rehabilitasi,” kata mantan Kepala BNN tersebut.
Menurut Anang, dalam Undang-Undang Narkotika untuk merehabilitasi penyalahguna ada tiga cara. Yang pertama kewajiban sosial orang tua. “Kalau anaknya sakit kecanduan itu harus disembuhkan. Kalau tidak dia akan sakit selama hidupnya,” ungkapnya.
Yang kedua, lanjut Anang, rehabilitasi melalui kewajiban hukum melaporkan ke IPWL untuk mendapatkan penyembuhan, dan yang ketiga rehabilitasi berdasarkan putusan hakim. “Ini kewenangan hakim ada di Pasal 103. Salah atau tidak salah, hakim itu hukumnya wajib memutuskan hukuman rehabilitasi,” jelas Anang Iskandar.
Inilah yang harus diperjuangkan. Caranya, kata Anang, dua-duanya demand and suplay. Demand sendiri tidak hanya melalui rehabilitasi saja. Terpenting adalah mencegah dan cara mencegahnya juga harus sesuai aturan. “Supaya bener, cara mencegahnya tidak semata-mata kampanye. Yang paling penting itu adalah bagaimana masyarakat tidak tertipu, terpedaya, terbujuk atau dirayu bahkan dipaksa menggunakan narkotika,” imbau Anang Iskandar mengingatkan. ED – JAKARTA